Ada kejujuran yang jarang muncul dalam dunia pop — sebuah momen ketika seorang musisi benar-benar berhadapan dengan dirinya sendiri. Popularitas, sorot lampu panggung, mencetak lagu hit dengan ratusan juta streams, trofi juara ajang pencarian bakat, rekaman di studio terbaik dunia, kontrak dengan label besar, semua pernah dilalui Sezairi. Pencapaian itu bukan menjadikan Sezairi semakin gila ambisi. Dia menyingkirkan titel-titel itu, kembali ke studio kamarnya di Singapura, memasang headphone, duduk di hadapan perangkat rekaman dan kemudian terhanyut seperti anak kecil yang baru menemukan musik untuk pertama kalinya. Tetapi justru proses ini menghadirkan sebuah refleksi perjalanan karier Sezairi yang baru. Sebuah perjalanan pulang menuju dirinya sendiri. Semua itu terekam dalam album kelima Sezairi, The Art of Surrender, yang dirilis pada 17 Oktober 2025 di seluruh layanan streaming musik.
Album yang terdiri dari 12 track ini bukan hanya menandai babak baru dalam karier bermusiknya, tapi juga sebuah pernyataan: inilah Sezairi yang sesungguhnya. Album ini menandai karier Sezairi sebagai musisi independen setelah lepas dari label besar, semua materi sepenuhnya direkam dan diproduseri oleh Sezairi sendiri. Sebuah langkah berani yang menempatkannya bukan hanya sebagai penyanyi dan penulis lagu, tetapi juga sebagai craftsman musik sejati. Dari segi tema, Sezairi mengendapkan banyak perasaan, perenungan akan sebuah hubungan yang kompleks, harapan di tengah keputusasaan, dan juga sebuah upaya untuk kembali ke akar kulturalnya dengan menulis lagu-lagu berbahasa Indonesia.
“Album ini aku beri nama The Art of Surrender karena pada mulanya aku bikin album ini, aku harus ‘menyerah’ pada apa yang sebenarnya terjadi, bukan pada apa yang aku ingin terjadi,” ujar Sezairi.
“Awalnya aku pengen bikin album seperti Childish Gambino atau Frank Ocean, tapi waktu aku buat, aku sadar ternyata ini terdengar seperti aku sendiri, bukan tiruan siapa pun. Dan dari situ aku sadar, dalam tujuan mencapai sesuatu yang baik kamu harus ‘surrender.’ Tapi
‘surrendering’ juga bisa berarti hal yang buruk. So it’s up to you the listener, you pick what you get out of it.”
Jika didengarkan secara keseluruhan, album ini memiliki dramaturgi yang mewakili fase-fase perasaan. Sezairi menulisnya seperti sutradara yang menggubah narasi cinta dalam tiga babak: intro, interlude, dan outro.
Di babak pertama, “Lonely” membuka dengan perasaan hampa yang melahirkan pencarian koneksi. Lalu datang “Surrender” dan “Aku Untukmu”, dua lagu tentang menyerahkan diri pada cinta, seperti tarian di bawah cahaya sore. Namun setelah interlude “Katakan” suasana berubah. Datang “Habits”, lalu “Broken Promise”, dan akhirnya “Kan Ku Nantikan.” Cinta di sini bukan lagi ilusi romantik, tapi ruang sunyi tempat seseorang belajar berdamai dengan kecewa. Kisah ditutup manis dengan “The Way That I Love You.”
“Album ini berdurasi 32 menit, dan dalam bayanganku, ia seperti teman perjalanan. Sesuatu yang kamu dengarkan saat keluar rumah dan melangkah ke stasiun. Aku ingin pendengar benar-benar bisa ‘ada di sana’, merasakan tempat dan waktu dari setiap lagu, seolah visualnya muncul sendiri di kepala tanpa perlu video musik,” kata Sezairi.
“Broken Promise” Anthem Ratapan Kekecewaan
“Broken Promise” dipilih sebagai focus track, lagu ini adalah manifesto sonik sekaligus jantung emosional album ini. Sebuah tempat di mana pelajaran hidup dan luka Sezairi bermuara. Lagu ini menunjukkan keberaniannya untuk tampil tanpa topeng: produksi yang jujur, ketidaksempurnaan yang disengaja, dan ruang-ruang kosong yang membuat setiap detak terasa manusiawi.
“Aku sengaja bikin drum-nya nggak perfect,” katanya. “Karena orang yang kehilangan kepercayaan juga nggak akan pernah terasa tepat.”
Setiap detak dalam lagu ini terasa seperti denyut emosi yang tertahan: kick drum sedikit terlambat, snare tidak seragam, dan di antara ruang kosongnya ada sesuatu yang seperti napas manusia.
“Broken Promise” bukan lagu tentang putus cinta, ini adalah sebuah ratapan tentang kekecewaan bertubi-tubi yang datang dari sosok yang sama. “Lagu ini tentang seseorang yang sering mengecewakanmu,” ujar Sezairi. “Tentang janji yang diucapkan, tapi tak pernah ditepati.”
Merayakan Akar Kultur Indonesia dan Terapi Melihat Diri
Dengan porsi lagu berbahasa Indonesia yang lebih besar dibanding album-album sebelumnya, The Art of Surrender juga menjadi cara Sezairi merayakan akarnya. Sebagai musisi diaspora dengan darah Banjarmasin dan Pekalongan, album ini adalah bentuk pulang ke rumah. Bukan secara geografis, melainkan emosional.
“Aku harap pendengar di Indonesia bisa melihat ini sebagai titik penting dalam karierku,” katanya. “Bukan karena aku ingin membuktikan sesuatu, tapi karena aku akhirnya bisa benar-benar menjadi diriku sendiri tanpa kompromi.”
Sampul album menampilkan wajah Sezairi tanpa kacamata, tanpa simbol, tanpa pelindung. Ia mengaku tidak nyaman melihat wajahnya sendiri, tapi memutuskan untuk menatap kamera kali ini. “Itu bentuk exposure therapy,” ujarnya. “Aku harus melepas semua filter dan tampil apa adanya. Itu momen ketika aku benar-benar ‘menyerah’ untuk jadi diriku sendiri.”
Sezairi menyebut keseluruhan proses dalam pembuatan album ini sebagai the art of being an amateur—seni untuk kembali belajar dari awal. Mungkin itulah kenapa The Art of Surrender terdengar seperti album pertama dari seseorang yang sudah lama hidup di dunia musik. Ada kesegaran dalam kelelahan, ada harapan di balik kepasrahan. Di tengah industri yang terobsesi dengan kontrol, Sezairi justru menemukan kebebasan dalam melepaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar