Opini: Lokal adalah Luka - negerimusik.com

Breaking

close

09/01/2019

Opini: Lokal adalah Luka

Maka terkutuklah band-band yang disebut dengan segala label “lokal”, “daerah”, atau “homeband” dalam sirkulasi dunia per-event’an. Riders yang tidak dipenuhi sesuai MoU, pengurangan jam tampil, diskriminasi pelayanan, hingga yang paling kecil, penulisan nama/foto band di dalam poster acara adalah teman setia dari waktu-waktu yang hilang, mengutip kata Cholil sebagaimana betapa “Sebelah Mata”-nya mereka dipandang.



Ah, band “lokal”.











Tuntutan moril dalam kemasan “politik etis” mengundang band lokal ternyata seringkali tidak diikuti oleh treatment yang memadai di belakangnya. Lalu jika begitu, mengapa EO masih mau mengundang band “lokal”? Ummm…Formalitas agar tidak dirasani? Menghemat budget? Menyimpan muka? Bisa jadi. Well, EO bahkan kadang terkesan tidak peduli dengan konsiderasi-konsiderasi mengundang band “lokal” A atau B: pokok ada, pokok tampil saja. Demi kemaslahatan rundown acara dan juga kredo “Support Your Local Talent”.



Ya! mungkin embel-embel “Mendukung band/musisi lokal” selalu ampuh menjadi alasan & pembenaran untuk mengundang mereka secara “minim fee” dan/atau bahkan “gratis-an- dan minim pelayanan, tentunya. Bahwa memanfaatkan “fanatisme” beberapa Sobat Band dalam jargon “mendukung kiprah musisyen daerahnya” nyatanya masih menjadi senjata ampuh (oknum) EO di kota ini. Atas nama dukungan kepada musisi lokal dalam berkarya fuck-yeah-whatever-your-band-is-it’s-still-suck, disuruhlah para khalayak ini untuk tampil gratis, panas-panas’an dan seringkali disaksikan oleh segelintir penonton atau bahkan panitianya sendiri. Tidak manusiawi? Lho yang penting kan sudah taksupport to raimu….? Mashoook!



Jika mau terlihat lebih apologis lagi, tinggal buat saja Sistem Registrasi. Supaya kelihatan bahwa “band-band-nya yang butuh”, supaya terlihat bahwa “main di acara ini keren, berkelas, Instagrammable” dan sebagainya. Tidak peduli sound system yang dihadirkan hanya ala kadarnya. Tidak peduli konsumsi yang diberikan hanya “secukupnya” (bahkan kadang personelnyapun ada yang harus join-an…APA KABAR KRU?). Sampai tidak peduli treatment setelah turun panggung, bahkan sebatas ucapan “Terima Kasih Ya”.



Mau tambahan variabel lagi? Over-supply band-band- terutama yang baru, memberikan power besar untuk EO dalam akses kuantitas pilihan.  Selalu ada regenerasi di dalam dunia permusikkan kota mahasiswa ini. Andaikata dalam 30.000 mahasiswa baru setiap tahun itu ada 20% saja arek band-band’an *indie* yang masih “hijau” dan belum mengenal dunia, maka akan ada 6000 manusia yang siap “dikibuli” demi terciptanya peradaban event yang (konon) “Maha-Support-Lokal”.



VIVA LA VIDA!



Dari sisi band, mentalitas “butuh panggung” yang tidak dibarengi dengan “nilai tawar” ternyata semakin mengejawantahkan hal ini. “Aku iki band opo, aku ngono sek butuh panggung, gratisan (terus) gakpopo” seringkali berakibat sambat tipis-tipis di kemudian hari setelah mengenal dunia showbiz yang memang kejam bagi yang “lemah”. Mengeluh dan sambat di sosmed adalah cara termudah mengutuk “kekejaman-kekejaman” EO. Well, ujung-ujungnya percuma juga jika pada akhirnya kalian tidak meningkatkan value band sendiri. Mungkin.



Mengapa kita tidak berpikir untuk meningkatkan produk kita; live perform, karya, jangkauan penonton, dan sebagainya. Mengapa kita tidak berfokus kepada “Siapa diri kita?” daripada terus-menerus tenggelam dalam dunia persambatan-forever? Toh, sekali dan sekali lagi saya katakan bahwa “mengemis rekognisi tidak ada gunanya”. Respect is earned, not asked.



Lalu yang tua, yang stuck, yang tidak lagi produktif, yang (seharusnya) sudah banyak makan asam garam juga ada yang memilih jargon .feast: Beberapa Orang Memaafkan…. hingga batas “memaafkan” dan “menghancurkan diri sendiri dan sekitar” tipis bedanya. Tidak apa-apa.



Jangan lupa juga, sambat-sambat cantique agar supaya biar terlihat “menderita”, “dimusuhi”, hingga “terkesan “mengemis perhatian”. Ah, dunia…dunia…



(Itupun jika memang orientasinya ke sana, profesional atau setidaknya dapat uang rokoklah. Kalau buat senang-senang saja, ya monggo…mung ojo sambat, hehehehe.)



Apakah “Lokal” ini hanya berlaku dalam lingkup Dati II atau I saja? Tidak. Di dalam skala kecil seperti kampus, ini sangat sering terjadi. Dalam kasus yang lebih besar? Hmmm, diskriminasi ini juga ada dan nyata lho. Mau bukti? Ya lihat saja kasus Afgan di Prambanan Jazz tahun lalu, hehehehehe. Bedanya? Dia sambat dikit, fans-nya yang mencak-mencak.



Apakah akan ada “Titik Temu” atau keadaan Ideal dari ini? Tentu saja. Bagaimana itu? Ya silahkan disimpulkan sendiri dari dua sisi yang telah disebutkan di atas. Toh, ini bukan persoalan baru, tho?



Dualisme persoalan EO dan Band inilah yang menyebabkan lingkaran setan persambatan tidak selesai-selesai. Di saat band luar sudah berpikir bagaimana rekaman dan konser di luar negeri, berharap mixing mastering bagus dan layak standar internasional, kita ternyata masih diributkan dengan perdebatan “penghargaan musisyen”. Kita masih saja diributkan dengan carut marut event clothing sing main “iku-iku tok”, dan tetek bengeknya. Sampai kapan ini akan selesai, mencapai mufakat sesuai sila ke-4 Pancasila dan pada akhirnya, kita naikkan kelas perdebatannya?



Atau sebenarnya, berparagraf-paragraf ini tadi hanyalah racauan kosong dan tak berarti? Lalu sebenarnya pelabelan “lokal” dan “nasional” hanyalah produk dari inferioritas kita saja dalam memandang band-band luar yang datang ke sini? Bahwa “Lokal” lalu disalahartikan sebagai “mewakili Kota untuk mengemban misi mencerdaskan kehidupan musisyen” adalah cita-cita yang sangat utopis dan tidak masuk akal.



Lalu ditambah peran media, word of mouth, EO, yahudi, iluminati, remason, liberal, komunis, ateis, agnostik, konspirasyen new order dan pihak-pihak terkait yang membentuk mentalitas “Lokal” ini agar supaya kita terus saling “menjajah”? Teman EO menjajah teman band-band’an lainnya padahal masih 1 skena dan 1 kota, menciptakan sebuah permusuhan tersendiri untuk memecah belah ekosistem di dalamnya. Bahwa menjadi mempunyai teman di sisi lain kadang bisa membuat blur kepentingan pertemanan-bisnis, bahwa eksploitasi berkedok kekeluargaan itupun juga kadang sering sekali terjadi. Terlalu bombastis? Mungkin.



Apapun itu, “Lokal adalah luka”, dia mengisyaratkan “kedaerahan”, mengikis kepercayaan diri akan karya-karya sendiri, label-label komparasi yang terus didengungkan oleh banyak pihak, disetujui oleh yang berkepentingan dan mendapat manfaat darinya, diamini oleh para “korbannya” yang tidak mau berkembang, dan dijadikan pemakluman, lalu berakhir dalam forum perdebatan yang nirproduk.



Jika memang “Lokal adalah Luka”, maka pertanyaannya, “Mau sampai kapan kita biarkan luka itu terus ada?”



----------------------------------

Sebuah opini dari Randy Levin Virgiawan -KMPL- (@randy_kempel)

Founder dari PEKA ZINE, Sebuah zine lokal kampus UM, Kota Malang dan Sekitarnya

Keyboardist dari band Rumah Serem (Malang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar